Senin, 25 Januari 2016

Cerpen : Mentari di Ujung Senja

0

Kaki-kaki berlarian, hentakkan sepatu saling mengejar diiringi canda tawa, terdengar memekik di telinga Aisyah, selagi bola matanya masih sibuk menyisir suasana riuh, riang wajah-wajah calon teman-temannya itu. Tak sadar sedari tadi bibirnya pun menyimpul senyum termanis tak kalah senangnya dibanding mereka. Bahkan ia dapat melihat kelap-kelip binar tersuar, berpendar ke luar dari aura ruang kelas itu berwarna-warni, tampak bercahaya. Telah lama ia rindukan hari ini. Selalu menantikan suasana di hadapnya. Dan akhirnya Tuhan memberikan kesempatan untuknya mengecap rasa itu lagi. Suka cita bersekolah! Sungguh hatinya serasa ingin ke luar dan menari sampai kakinya tak sanggup berdiri lagi. Tak ada satu kata pun yang dapat menggambarkan perasaannya itu.
Tahun lalu Aisyah mogok sekolah. Tidak melanjutkan ke jenjang SMP setelah lulus dari SD, lantaran orangtuanya tak mampu dengan biaya sekolah pada masa itu. Ayahnya bilang agar Aisyah sementara tinggal di rumah saja. Belajar melukis bersamanya. Gadis berperawakan kecil dan berambut sebahu itu menurut, meski hatinya tetap ingin sekolah. Aisyah murid yang cerdas. Selalu mendapat peringkat 5 besar di kelas. Selama setahun di rumah ia rajin belajar melukis dari bimbingan sang Ayah, meski Ayahnya jarang pulang. Entah urusan kerja atau yang lain, Aisyah tak pernah tahu.
Suatu hari ia mendengar kabar bahwa tahun ajaran sekolah akan segera usai. Ia kegirangan. Hasrat terpendam kembali mencuat. Dengan semangat menggebu-gebu ia mengungkapkan pada sang Ayah keinginannya untuk sekolah lagi. Beliau setuju. Toh, kini Ibunya sudah berangkat ke luar negeri menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) dan selalu mengirimkan uang bulanan ke rumah, meski tak pernah cukup karena kebutuhan keluarga yang lebih besar dari pendapatan. Sementara itu, kebetulan di Desanya ada program bantuan sekolah dari pemerintah untuk keluarga tak mampu. Tak disangka-sangka Pak RT pun sudah mengikutkan Aisyah sebagai penyandang beasiswa tersebut. Lengkap sudah kebahagiaan Aisyah. Cita-citanya untuk sekolah lagi akan segera terwujud.
Lalu tibalah hari ini. Hari ketiga MOS (Masa Orientasi Siswa) di sekolah barunya itu. Aisyah masih senyam-senyum, namun tetap duduk manis di bangkunya karena memang ia tak mengenal satu teman pun. Rasanya seperti pertama masuk sekolah saja. Jantungnya berdebar-debar hingga perutnya mulas seperti ada yang berterbangan di dalam sana. Suasana ruang kelas agak tenang dan semua murid duduk di bangku masing-masing karena sesaat lalu bel tanda Guru pembimbing atau Kakak pembina akan segera masuk dan mengisi agenda untuk hari ini.
Seorang wanita yang mengenakan seragam dinas warna cokelat dan berjilbab berjalan masuk melewati pintu, berhenti di depan kelas, lalu membuka sebuah map di depan mukanya.
“Yang namanya disebut, harap ke luar dan lapor ke ruang TU (Tata Usaha).” Kata wanita itu, lalu mulai melafalkan satu demi satu nama murid, dan kemudian mereka yang disebut langsung ke luar kelas. Aisyah baru ingat dia seseorang yang bertugas di ruang TU, ketika namanya ikut terlantun dari mulut wanita itu. Ia bangkit dan segera berlalu menuju ruang TU.

Beberapa murid tengah mengerubungi salah satu meja, saat Aisyah memasuki ruangan yang terletak di antara ruang kepala sekolah dan toilet guru itu. Kemudian ia pun ikut membaur. Baris berjajar, menunggui giliran di belakang seorang murid laki-laki. Setelah masing-masing mendapat selebaran kertas yang bertuliskan daftar keterangaan biaya yang belum dilunasi dan sebuah kartu peserta -yang mendapat- beasiswa. Aisyah dan semua murid mendengarkan keterangan petugas TU yang mewajibkan mereka untuk menyelesaikannya sebelum MOS berakhir, karena senin depan dimulainya pelajaran semester pertama sekolah. Yang artinya harus ‘hari ini’.

Aisyah termenung menatapi selembar kertas dan sebuah kartu hijau di tangan, sambil sesekali menengok ke arah bangunan sekolah di belakangnya. Beberapa saat lalu hatinya kepalang senang, sekarang ia hanya anak malang. Tak disangka-sangka Ayahnya tidak membayarkan biaya pendaftaran dirinya, dan kini entah di mana dia berada. Aisyah bingung. Padahal ia tahu uang itu diamanahkan oleh Ibunya khusus untuk biaya sekolahnya. Ada kesal, sedih, bingung, bercampur menjadi satu. Dan sekarang, di kantongnya hanya cukup untuk ongkos pulang saja. Nenek Aisyah selalu memberinya uang saku yang pas-pasan. Bahkan selama sekolah ia tak pernah jajan.
Kertas itu kembali diliriknya. Sangat jelas, seolah huruf-huruf bertinta hitam di atas lembar putihnya mencolok bening pupil hingga sakitnya menjalar menusuk-nusuk jantung. Sedangkan kartu itu seperti pasien yang perlu dilarikan ke UGD (Unit Gawat Darurat) di Dinas pendidikan karena nama wali murid yang tertera tidak sesuai dengan nama di Ijazah SD-nya. Pilihannya sudah jelas tinggal satu, yaitu memperbaiki kartu itu hari ini juga ke Dinas Pendidikan. Tapi kendalanya adalah … pulang ke rumah? Untuk apa? Ia tak yakin Neneknya punya uang lebih untuk saat ini. Makan sehari-hari saja selalu gali lubang tutup lubang. Tapi bila tak segera, maka senin besok ia tak dibolehkan masuk kelas. Tenggorokannya serasa terganjal sesuatu yang padat dan keras. Awan semakin menggelap di atas kepalanya.
Tidak. Ia tidak mau membuang kesempatan di depan mata begitu saja. Susah payah sudah berjuang sejauh ini lalu menyerah karena setitik goresan terbalik? Tidak! Semua itu tak akan menggoyahkan niat yang sungguh-sungguh telah diusung di dalam hatinya. Ia harus berjuang sampai titik darah penghabisan. Ia harus bisa. Ia pasti bisa! Kata Guru TU, Kantor Dinas pendidikan terletak di sebelah Kantor Polres di Kecamatan. Maka di sinilah Aisyah berada.
“Assalamualaikum, Pak,” tegur Aisyah pada dua Pak polisi yang berdiri di depan bangunan yang ia yakini sangat ditakuti Para penjahat itu.
“Ya, Dek. Ada apa?” sahut salah satunya, tersenyum ramah.
“Saya mau memperbaiki kartu ini,” kata Aisyah sambil menunjukan kartu hijau di tangannya itu.
“apa di sini Dinas pendidikan?” lanjutnya, saat kartu tersebut telah berpindah tangan di Pak polisi.
“Oh, ini bukan Dinas pendidikan, Dek.” Dua polisi itu terkikik geli.

“Saya bisa lihat, Pak. Tapi Guru saya bilang kantor Dinas Pendidikan letaknya di sebelah kantor Polisi,” Aisyah menerangkan. Agak kesal sudah ditertawakan.
“Mungkin maksud Guru Adek setelah kantor Polres, memang beberapa kilo dari sini ada Dinas Pendidikan di sebelah SD di pasar induk.”
“Kalau begitu saya salah dong, Pak.” keluh Aisyah, menundukkan kepala karena rasa malu yang merayapi wajahnya hingga menjadi merah.
“Ya sudah, terima kasih banyak ya, Pak,” lanjut Aisyah berlalu, setelah dua Pak polisi itu mengingatkannya untuk berhati-hati.
Aisyah kembali mendapati kegusarannya makin melebar karena receh di balik kantongnya hanya cukup untuk sekali jalan. Namun ia juga tahu, letak pasar induk hanya beberapa kilometer dari tempatnya berdiri.

Hari makin siang. Hangat mentari sudah berubah menjadi sinar yang menyengat kulit dan mengucurkan keringat yang ke luar dari pori-porinya. Aisyah mengelap keningnya dengan punggung telapak tangan, sambil setia menyusuri jalan setapak yang terasa kian melangkah kian panjang saja kelihatannya. Tenggorokannya kering seolah butir pasir tersebar di dalam sana. Dalam benaknya ia bertekad tak akan menyerah. Ia ingin sekolah. Belajar, berteman, dan menwujudkan cita-citanya yang suatu hari ingin menjadi orang yang berguna. Untuk orangtuanya dan Negara tercinta. Ia ingin menjadi seorang Guru. Dan ia tahu hanya dirinyalah yang dapat merubah nasib. Ia tak mau menyalahkan Ayahnya yang pergi membawa uang sekolah ataupun teriknya matahari hari ini.
Setelah 45 menit berjalan, akhirnya sampai jua Aisyah di depan Kantor Dinas Pendidikan. Tercantum huruf kapital di atas pintunya -tak salah lagi ini benar tempat tujuannya. Dengan separuh perasaan lega ia melewati pintu dan langsung disambut oleh meja dan tumpukan map-map yang berwarna-warni di depan mata.
“Assalamualaikum,” sapa Aisyah, “Saya mau memperbaiki nama yang tertera di kartu ini.” selagi tangan kanannya menyodorkan sebuah kartu hijau kepada seorang Pria yang duduk di belakang meja yang berantakan itu.

“Taruh saja di atas meja.” kata Pria itu tanpa menoleh sedikit pun. Pandangannya lurus, berkutat dengan bulpoin hitam di atas kartu-kartu mirip milik Aisyah. Ia mencorat-coret huruf -yang mungkin- tidak sesuai atau yang perlu diperbaiki. Bola matanya nyaris lepas, saat tahu bahwa kartu-kartu bermasalah itu memang persis seperti miliknya dan jumlahnya ada puluhan. Belum lagi yang ada di dalam map warna-warni itu. Ia menelan ludah.
“Pak, boleh tahu kartu saya sampai kapan selesai diperbaiki?” kedengarannya memang tidak sopan. Mengingat, pasti, Bapak itu cape sekali dengan ratusan kerjaan yang harus diselesaikannya itu. Namun hatinya seolah berteriak, tak dapat diredam, ingin segera tahu agar hilang ganjalan itu. Resah itu. Bapak itu mendongak, matanya mengunci mata Aisyah. Tatapannya nanar. Sedikit tampak kesal sudah terganggu. “Dek, kamu lihat sendiri kan kasus yang sama seperti milikmu itu tidak sedikit,” ia menghela napas, “jadi Bapak tidak tahu. Tapi Bapak akan mengusahakan secepat mungkin.”
Sebenarnya Aisyah ingin bertanya lebih lanjut, bagaimana kalau kartu miliknya sampai telat atau tidak dapat diperbaiki lagi? Sedangkan Guru TU sudah menjelaskan dengan rinci perihal murid-murid yang belum melunasi pendaftaran tidak diperbolehkan ikut pelajaran untuk senin depan. Apakah mimpinya akan berakhir sampai di sini? Cita-citanya untuk bersekolah akan terbengkalai sebelum mulai? Menjadi Guru. Mengajar di depan kelas dan sesekali memberikan hukuman kepada anak yang bandel, mungkin akan selalu menjadi angan-angan saja.
Bening hangat tak terasa telah luruh di pipi Aisyah. Kembali ganjalan yang padat dan keras itu memenuhi kerongkongannya. Ia menundukkan kepala. Rasa lesuh tiba-tiba merayapi tubuhnya.
Saat pikirannya berkabut, gemericik air hujan kian lebat yang seragam merah putihnya langsung dibuat kuyup di sore yang gelap itu. Dengan gontai ia menyeberangi jalan raya, menunggu kendaraan umum di sisi lain jalan, hendak menuju rumah.

Tiba-tiba dari kejauhan tampak sebuah mobil Avanza hitam yang melaju dengan kecepatan di atas normal tergelincir di atas aspal karena rintik air hujan yang melicinkan putaran roda hingga menyebabkan laju mobil tidak stabil. Aisyah mendongak, ketika tepat, sinar lampu mobil yang menyilaukan pandangan, disusul decitan dan gemuruh kilat menyambar menerjang tubuhnya. Ia terpelanting beberapa meter, jatuh seperti karung kentang, tergeletak di atas aspal. Seketika itu juga pandangannya menghitam.

Cicitan suara burung liar terdengar merdu seolah bersahut-sahut menyambut kuning keemasan sinar mentari yang seperti malu-malu mengintip di balik awan. Tak kalah merdunya dengan gelak tawa gadis-gadis kecil -jenjang TK- yang tengah menyirami warna-warni bunga di depan kelas mereka. Hari ini ‘hari berkebun’ yang sudah dijadikan rutinitas Yayasan Pendidikan tingkat TK, SD, SMP sampai SMU tersebut. Sedangkan kelas yang lain juga tampak sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang mencabuti rumput, menanam pohon baru, memberi pupuk dan ada pula yang saling dorong dengan teman-temannya. Semua murid tampak menikmati hari yang indah ini. Sinar mentari serasa tersenyum tak henti-hentinya seperti senyum seorang wanita yang duduk di kursi roda yang tengah menyiram bunga bersama gadis-gadis kecil di samping kanan kirinya.
“Bu, mawarnya sudah mekar, sudah mekar!” teriak salah satu dari mereka, melompat-lompat kecil, kegirangan.
“Ah … kamu benar, Nila,” sahut wanita berkursi roda itu.
“Ini semua berkat kerajinan kalian merawat bunga-bunga ini dan selalu giat belajar.” lanjut wanita tua itu, memuji mereka yang serempak menjawab dengan, “Itu aku, Bu!?” Wanita tua itu terkikik geli melihat tingkah lucu murid-muridnya itu.

“Ibu kepala sekolah, sekarang sudah saatnya,” sela Ibu Nining, wakil kepala sekolah.
Wanita tua itu tersenyum, kala mendongak ke arah Ibu Nining.
Lalu berkata, “Bu Nining, cukup panggil saya Bu Aisyah saja. Tidak perlu formal di hari berkebun.”

Wanita tua itu, -Bu Aisyah- dalam hatinya tak henti-hentinya mengucap syukur atas segala karunia yang Tuhan berikan. Perjuangannya selama ini tidak sia-sia. Semangatnya yang menggebu-gebu dari dulu tak pernah padam, meski rintangan menerjang dan cobaan silih berganti, ia tetap melanjutkan sekolah agar terwujud cita-cita sucinya. Begitu pula ia selalu mengingatkan anak-anak didiknya, karena bila bersungguh-sungguh semua pasti tercapai. Cita-citanya menjadi seorang Guru, telah tercapai.
Cerpen Karangan: Mella Amelia
Facebook: Yukatan

0 komentar:

Posting Komentar

Foto Kegiatan

" />  photo hhdrhhdhdrhdh_zps2794a59b.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />